Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TARUTUNG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2024/PN Trt Ridwan Amren Soni Anggiat Junju, SH Kasat Reskrim Polres Tapanuli Utara Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 12 Jul. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2024/PN Trt
Tanggal Surat Jumat, 12 Jul. 2024
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Ridwan Amren Soni Anggiat Junju, SH
Termohon
NoNama
1Kasat Reskrim Polres Tapanuli Utara
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

PERMOHONAN PRAPERADILAN

Terhadap

Penetapan Tersangka dalam dugaan tindak pidana “Penghinaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, sebagaimana dimaksud dalam Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor Tapanuli Utara Satuan Reserse Kriminal

 

Atas Nama PEMOHON: RIDWAN AMREN SONI ANGGIAT JUNJU,S.H

--- MELAWAN ---

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

C.q. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA

C.q. KEPALA KEPOLISIAN TAPANULI UTARA

C.q. KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL

Sebagai TERMOHON

 

Diajukan oleh Advokat/Penasihat Hukum pada Kantor

LAW FIRM SIRINGO & Partners, sebagai Tim Penasihat Hukum Pemohon: UTRECK RICARDO, S.H

ROSMALA HUTAGALUNG, S.H., M.H LANGLANG BUANA, S.H

POSMA OTTO MARTUA MANALU, S.H,M.H

Disampaikan di :

PENGADILAN NEGERI TARUTUNG

Kepada:

Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Tarutung

di -

Tarutung

 

Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN

Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

------------------------------------------UTRECK RICARDO, S.H--------------------------------------------

----------------------------------ROSMALA HUTAGALUNG, S.H., M.H----------------------------------

-----------------------------------------------LANGLANG BUANA, S.H----------------------------------------

--------------------------------POSMA OTTO MARTUA MANALU, S.H,M.H-----------------------------

masing-masing merupakan Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum pada kantor LAW FIRM SIRINGO & PARTNERS, yang beralamat kantor di Jalan Pembangunan Lk. IV No. 5, Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara – 20125, Telp.: 082368669940, E-mail E-Court: lawfirmsiringopartners@gmail.com. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tanggal 22 Juni 2024 (terlampir), dalam hal ini dapat bertindak secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri;untuk dan atas nama mewakili kepentingan hukum dari:

RIDWAN AMREN SONI ANGGIAT JUNJU : Lahir di Medan, 13 Oktober 1983, Jenis Kelamin Laki-Laki, Agama Kristen, Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Advokat, Beralamat di Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara; Untuk selanjutnya disebut sebagai                                                                                                                                            PEMOHON;

 

                                                                       MELAWAN                                                       

 

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA C.q. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA C.q. KEPALA KEPOLISIAN RESOR TAPANULI UTARA

C.q. KEPALA SATUAN RESERSE KRIMINAL;

Untuk selanjutnya disebut sebagai------------------------------------------------------------------------------------------------ TERMOHON;

Untuk mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap Penetapan Tersangka dalam dugaan tindak pidana “Penghinaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, sebagaimana

dimaksud dalam Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor Tapanuli Utara Satuan Reserse Kriminal.

Adapun yang menjadi dasar dan alasan Permohonan Pemohon adalah sebagai berikut:

  1. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
    1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Sebagai negara hukum, Indonesia haruslah mampu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta menjamin segala hak warga negara yang sama kedudukannya di mata hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan Menurut Undang-Undang Dasar”;
    2. Bahwa untuk tegaknya hukum materil maka diperlukan penegakkan terhadap hukum formilnya yang berfungsi untuk mempertahankan hukum materil tersebut. Salah satu manfaat penting adanya hukum formil adalah untuk membatasi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya serta memberikan pedoman dalam menjalankan kewenangannya dalam hal penyelidikan dan penyidikan;
    3. Menurut Mien Rukmini dalam bukunya yang berjudul: “Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana (2009 : 175)” mengatakan bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 yang dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia yang sangat menekankan penghormatan kepada HAM. Tujuan dibentuknya KUHAP ini tidak lain untuk menegakkan hukum dan keadilan yang tidak memihak, yang tentunya keberlakuan KUHAP ini sesuai dengan pendekatan hukum dan ketertiban;
    4. Bahwa proses pemeriksaan tentang benar atau tidaknya suatu perbuatan pidana terjadi dapat diketahui melalui proses penyidikan, tapi sebelum penyidikan dilakukan terlebih dahulu dilakukan penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik (Ledeng Marpaung; 2009; hal. 6). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa peran Aparat Kepolisian sebagai Penyidik sangatlah penting dan strategis dalam menetapkan seseorang bersalah atau tidak, layak atau tidak seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dapat ditetapkan sebagai Tersangka. Dan dalam menghentikan penyidikan, penyidik haruslah professional, mandiri,

dan berkualitas. Disinilah peran praperadilan diperlukan untuk menguji kinerja dari penyidik, sekaligus sebagai sarana warga negara dalam mempertahankan hak asasinya;

  1. Bahwa landasan yuridis Lembaga Praperadilan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tercantum dalam Pasal 1 butir 10, Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83;
  2. Bahwa adapun wewenang praperadilan diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, yang menyebutkan bahwa praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang:
    1. Sah atau tidaknya penangkapan, atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
    2. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
    3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
  3. Bahwa apa yang telah dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP tersebut dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
    1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
    2. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
  4. Bahwa selanjutnya adapun tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal

80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka benar- benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Perundang-Undangan lainnya;

  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

  1. Dengan demikian, Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUUXII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Lembaga Praperadilan.
  1. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
  1. Fakta-Fakta Hukum Latar Belakang Masalah
    1. Bahwa mulanya pada tanggal 30 Maret 2024, bertempat di salah satu warung (Kedai Kopi) di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Pemohon diwawancarai oleh seorang Jurnalis bernama FREDY HUTASOIT sehubungan dengan adanya dugaan pengrusakan lingkungan akibat adanya aktifitas Galian Golongan C yang diduga ilegal di Desa Tapian Nauli, Kecamatan Sipaholon, Kabupaten Tapanuli Utara. Pada kegiatan wawancara tersebut hadir juga seseorang yang bernama KAPTEN SODOGORON SITUMORANG yang diketahui sebagai Komandan Daerah Militer (DANRAMIL) Onan Ganjang, Kecamatan Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan. Adapun maksud dan tujuan kehadiran KAPTEN SODOGORON SITUMORANG tersebut adalah untuk menyimak dan mendengarkan wawancara tersebut berikut informasi yang diperolehnya disampaikan kepada Pengusaha Galian Golongan C dimaksud yang bernama RANTO MANULANG;
    2. Bahwa kemudian, pada tanggal 1 April 2024 sekitar pukul 09.00 WIB hasil wawancara yang dimaksud pada poin 1 di atas diberitakan oleh FREDY HUTASOIT, selanjutnya pada pukul 11.00 WIB Jurnalis bernama FREDY HUTASOIT ditelepon dan diminta untuk menghadiri pertemuan bertempat di Lapo AEK POHON, Desa Tapian Nauli, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara. Berikutnya pada sekitar pukul

13.00 WIB pertemuan tersebut pun berlangsung yang dihadiri juga oleh Pemohon, FREDY HUTASOIT,  KAPTEN  SODOGORON  SITUMORANG,  KAPTEN  INF.  R.M.

SILITONGA yang diketahui sebagai Pasi Intel KODIM 0210/TU. Adapun yang memimpin pertemuan tersebut berikut yang membuka pembicaraan pada pertemuan tersebut adalah KAPTEN INF. R.M. SILITONGA;

  1. Bahwa selanjutnya, pada tanggal 1 April 2024 sekitar malam hari atau setidak-tidaknya setelah pertemuan di Lapo AEK POHON, Desa Tapian Nauli, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara tersebut, Pemohon dilaporkan di Polres Tapanuli Utara oleh KAPTEN SODOGORON SITUMORANG sebagaimana dimaksud dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/71/IV/2024/SPKT/POLRES TAPANULI UTARA/POLDA

SUMATERA UTARA, tanggal 01 April 2024, an. Pelapor SODOGORON SITUMORANG, atas dugaan Tindak Pidana “Pencemaran Nama Baik”;

  1. Bahwa berikutnya, pada tanggal 22 April 2024 Pemohon membuat Laporan/Pengaduan di Sub Detasemen Polisi Militer I/2-2 Tarutung sehubungan dengan peristiwa yang terjadi pada poin 1 dan 2 di atas, sebagaimana dimaksud dalam Surat Tanda Terima Laporan Polisi/Pengaduan Nomor: STTL/03/IV/2024, diketahui oleh Lettu CPM SUIKIH A RUMAHORBO selaku KOMANDAN SUBDENPOM I/2-2, tanggal 22 April 2024;
  2. Bahwa tiba-tiba pada tanggal 3 Juni 2024 Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana “Penghinaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, sebagaimana dimaksud dalam Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Resor Tapanuli Utara Satuan Reserse Kriminal;
  3. Bahwa rujukan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/ 2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024 tersebut diuraikan Rujukan:
    1. Pasal 109 ayat (1) KUHAP;
    2. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia;
    3. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2009 tentang Penyidikan Tindak Pidana;
    4. Laporan Polisi Nomor: LP/B/71/IV/2024/SPKT/POLRES TAPANULI UTARA/POLDA SUMATERA UTARA, tanggal 01 April 2024, an. Pelapor SODOGORON SITUMORANG;
    5. Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/59/IV/2024/Reskrim, tanggal 24 April 2024;
    6. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: K/51/IV/2024/Reskrim, tanggal 24 April 2024;
  4. Bahwa Penetapan Tersangka Pemohon oleh Termohon sebagaimana dimaksud pada poin 5 di atas menurut penilaian Pemohon dilakukan dengan cara melanggar hukum formil atau Tidak Sah, sehingga Pemohon mengajukan Permohonan Praperadilan a quo di Pengadilan Negeri Tarutung.
  1. Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Oleh Termohon Tidak Sah Karena Tanpa Pelaksanaan Gelar Perkara Atau Gelar Perkara Tidak Dilaksanakan Sesuai Dengan Prosedur Hukum
    1. Bahwa tentang Gelar Perkara tidak secara jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun terkait Gelar Perkara tersebut dapat diketahui melalui ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP yang menyebutkan bahwa “Salah satu wewenang penyidik adalah mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Gelar perkara adalah bagian dari proses dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System);
    2. Bahwa secara spesifik berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 24 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, disebutkan Pengertian Gelar Perkara adalah kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidik kepada peserta gelar dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapatkan tanggapan/masukan/koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan;
    3. Bahwa pada Tahap Penyelidikan, Gelar Perkara wajib dilaksanakan sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang menentukan:

Ayat (1): Hasil Penyelidikan yang telah dilaporkan oleh tim penyelidik, wajib dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan peristiwa tersebut diduga:

  1. tindak pidana; atau
  2. bukan tindak pidana.

Ayat (2): Hasil gelar perkara yang memutuskan:

  1. merupakan tindak pidana, dilanjutkan ke tahap penyidikan;
    1. Bahwa pada Tahap Penyidikan, Gelar Perkara wajib dilaksanakan sebagaimana ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang menentukan:

Ayat (1): Penetapan tersangka berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang didukung barang bukti.

Ayat (2): Penetapan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan.

 

  1. Bahwa tentang pelaksanaan Gelar Perkara diatur dalam Pasal 31 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang menentukan bahwa Gelar Perkara dilaksanakan dengan cara:
    1. gelar perkara biasa; dan
    2. gelar perkara khusus.
  2. Bahwa selain itu, Gelar Perkara juga diatur dalam Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Standar Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana dalam Lampiran huruf C. Standar Operasional Prosedur Gelar Perkara Biasa, pada Nomor: 3 huruf g tentang Mekanisme Gelar Perkara;
  3. Bahwa menurut Jessica, Dkk dalam Jurnal yang berjudul “Gelar Perkara Dalam Proses Penyelidikan Di Kepolisian Daerah Sumatera Utara; E-ISSN: Nomor 2303-0569; hal. 677”, disebutkan bahwa “Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak Pelapor dan Terlapor”;
  4. Bahwa fakta hukum yang terjadi dalam perkara a quo adalah Termohon tidak ada melakukan Gelar Perkara baik di Tahap Penyelidikan maupun di Tahap Penyidikan dan/atau Termohon tidak pernah memanggil/memberitahukan kepada Pemohon tentang Pelaksaan Gelar Perkara baik pada Tahap Penyelidikan maupun pada Tahap Penyidikan;
  5. Dengan demikian, tindakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah Tidak Sah karena tanpa pelaksanaan Gelar Perkara atau Gelar Perkara tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum;
  6. Bahwa selain itu, oleh karena tindakan Termohon bertentangan Pasal 9 ayat (1) dan (2) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, maka Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/59/IV/2024/Reskrim, tanggal 24 April 2024; Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor: K/51/IV/2024/Reskrim, tanggal 24 April 2024; Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024 adalah Tidak Sah;
  1. Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Oleh Termohon Tidak Sah Karena Termohon Tidak Melaksanakan Prinsip Keadilan Restoratif Atau Mediasi Antara Pelapor Dengan Pemohon
    1. Bahwa dugaan tindak pidana sebagaimana yang termuat dalam Laporan Polisi Nomor: LP/B/71/IV/2024/SPKT/POLRES TAPANULI UTARA/POLDA SUMATERA UTARA,

tanggal 01 April 2024, an Pelapor SODOGORON SITUMORANG juncto Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024 adalah tindak pidana “Penghinaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, termasuk dalam jenis pidana Delik Aduan atau Pidana Aduan;

  1. Bahwa oleh karena tindak pidana yang disangkakan pada diri Pemohon merupakan Delik Aduan atau Pidana Aduan, maka secara hukum prosedural bagi Termohon dimungkinkan melakukan Mediasi atau melaksanakan prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice) atau Problem Solving di antara Pelapor dengan Pemohon, dengan dasar hukum:
    1. Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHP, yang menentukan bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
    2. Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pasal 5 ayat (1) angka 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf L adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
      1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
      2. Seleras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
      3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
      4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
      5. Menghormati hak asasi manusia.
    3. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif;
  2. Bahwa menurut pendapat Marlina (2012; hal.180) bahwa “Prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice) pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar pengadilan dengan menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak. Konsep Restorative Justice merupakan suatu konsep penyelesaian tindak pelanggaran hukum yang terjadi, dilakukan dengan membawa korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk bersama-sama berbicara”;
  3. Bahwa kemudian, menurut I Ketut Adi Purnama dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kepolisian: Sejarah Dan Peran Polri Dalam Penegakan Hukum Serta Perlindungan HAM,

2018; hal. 85”, berpendapat bahwa “Penegakan hukum (Law Enforcement) yaitu suatu usaha untuk mengekspresikan citra moral yang terkandung di dalam hukum. Citra moral yang terkandung di dalam hukum bisa ditegakkan melalui aparat penegak hukum. Di samping tugas Polri sebagai penegak hukum, Polri juga mempunyai tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pertimbangan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”;

  1. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum berikut pendapat dari beberapa Ahli Hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan Restorative Justice oleh Polri dalam Sistem Peradilan Pidana menawarkan sesuatu yang berbeda karena mekanisme peradilan yang terfokus kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Dengan penggunaan Restorative Justice, tujuan pemidaan diarahkan pada perbaikan hubungan sosial para pihak;
  2. Bahwa sehubungan dengan perkara a quo, terdapat perkara yang sama yang berhasil diselesaikan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pendekatan Keadilan Restoratif, yakni sebagaimana diberitakan dalam website resmi HUMAS POLRI dalam situs https://www.humas.polri.go.id/2020/06/09/giat-problem-solving-bhabinkamtibmas- lauran-terhadap-dugaan-kasus-penghinaan-di-desa/, pada tanggal 09 Juni 2020 diberitakan bahwa “Giat Problem Solving Bhabinkamtibmas Lauran terhadap dugaan Kasus Penghinaan di Desa”;
  3. Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan argumentasi hukum di atas, maka penetapan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan oleh Termohon secara prosedural tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum karena Termohon tidak melaksanakan prinsip keadilan restoratif atau mediasi diantara Pelapor dengan Pemohon, maka Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon adalah Tidak Sah.
  1. Penetapan Pemohon Sebagai Tersangka Oleh Termohon Tidak Sah Atau Cacat Hukum Karena Tanpa Adanya Pemeriksaan Terhadap Pemohon Sebagai Calon Tersangka
    1. Bahwa Termohon dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka, harus melalui beberapa rangkaian tindakan yang dilakukan berdasarkan kewenangan dan tugasnya sebagai Penyelidik dan Penyidik, adapun tindakan yang harus dilakukan jika terdapat adanya dugaan terjadinya tindak pidana diantaranya adalah dengan melakukan Penyelidikan dan Penyidikan, dengan penjelasan hukumnya sebagai berikut:
      1. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

 

diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;

  1. Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;
  2. Adapun pengertian Tersangka menurut Pasal 1 angka 14 KUHP adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
  3. Bahwa dalam KUHAP tidak memberikan batasan dan pengertian serta makna mengenai frasa “Bukti permulaan“, namun Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusannya Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, telah memberikan batasan dan pengertian tentang apa yang dimaksudkan dengan frasa “bukti permulaan” yaitu harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon Tersangka;
  4. Bahwa dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyatakan “frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon Tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan Tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)”;
  5. Bahwa dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dapat dimaknai bahwa untuk menentukan dan menetapkan seseorang menjadi Tersangka oleh Penyidik dalam Penyidikan, maka harus terlebih dahulu memenuhi dua alat bukti sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP ditambah pemeriksaan calon Tersangka;
  6. Bahwa fakta hukumnya adalah Pemohon tidak pernah diperiksa atau dimintai keterangan secara sah dan resmi oleh Termohon sebagai Calon Tersangka, dengan uraian rentetan waktu sebagai berikut:
    1. Pada tahap Penyelidikan, Termohon ada memanggil Pemohon sebagaimana Surat Nomor: B/580/IV/2024/Reskrim, Perihal: Permintaan Keterangan, tanggal 8 April 2024. Melalui surat tersebut Pemohon diminta oleh Termohon untuk memberikan Keterangan yang dilaksanakan pada tanggal 12 April 2024. Namun, Pemohon tidak

 

dapat menghadiri panggilan tersebut karena Surat Panggilan dimaksud terlambat diterima oleh Pemohon;

  1. Bahwa masih dalam tahap Penyelidikan, kemudian Termohon ada memanggil Pemohon sebagaimana Surat Nomor: B/660/IV/2024/Reskrim, Perihal: Permintaan Keterangan, tanggal 17 April 2024. Melalui surat tersebut Pemohon diminta oleh Termohon untuk memberikan Keterangan yang dilaksanakan pada tanggal 20 April 2024. Namun, Pemohon tidak dapat menghadiri panggilan tersebut karena Surat Panggilan dimaksud terlambat diterima oleh Pemohon;
  2. Pada tahap Penyidikan (Belum Ada Penetapan Tersangka), Termohon ada memanggil Pemohon sebagaimana Surat Nomor: S.Pgl/140/IV/2024/Reskrim, tanggal 25 April 2024. Melalui surat tersebut Pemohon diminta oleh Termohon untuk diperiksa dan dimintai keterangan selaku Saksi yang dilaksanakan pada tanggal 30 April 2024. Namun, Pemohon tidak dapat menghadiri panggilan tersebut karena Pemohon sedang memiliki kegiatan di luar wilayah Kabupaten Tapanuli Utara;
  3. Bahwa tiba-tiba pada tanggal 3 Juni 2024, Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka sebagaimana dalam Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024 tersebut;
  4. Bahwa oleh karena Termohon tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap Pemohon sebagai Calon Tersangka dalam tahap Penyelidikan maupun Penyidikan sebelum ditetapkannya Pemohon sebagai Tersangka berdasarkan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024 tersebut, maka Penetapan Pemohon sebagai Tersangka adalah Cacat Hukum atau Tidak Sah;
  1. PETITUM

Berdasarkan uraian argumentasi hukum dan fakta-fakta yuridis di atas, Pemohon memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Tarutung C.q. Yang Mulia Hakim Praperadilan yang memeriksa dan mengadili perkara Permohonan Praperadilan a quo berkenan memutus perkara ini dengan Amar Putusan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana “Penghinaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP berdasarkan: Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/59/IV/2024/Reskrim, tanggal 24 April 2024; Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Nomor:K/51/IV/2024/Reskrim, tanggal 24 April 2024; Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/Reskrim, tanggal 3 Juni 2024 adalah Tidak Sah;
  1. Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/59/IV/2024/Reskrim, tanggal 24 April 2024 adalah Tidak Sah dengan segala akibat hukumnya;
  2. Memerintahkan Termohon untuk menghentikan Penyidikan terhadap Pemohon berdasarkan: Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor: K/114/VI/2024/ Reskrim, tanggal 3 Juni 2024;
  3. Menyatakan Tidak Sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon tersebut;
  4. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya;
  5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku;

Atau,

apabila Yang Mulia Hakim Praperadilan pemeriksa perkara a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono). Terima Kasih.

Medan, 02 Juli 2024 Hormat Kami

Kuasa Hukum Pemohon Praperadilan,

 

UTRECK RICARDO, S.H                ROSMALA HUTAGALUNG, S.H., M.H

 

LANGLANG BUANA, S.H           POSMA OTTO MARTUA MANALU, S.H,M,H

 

Pihak Dipublikasikan Ya